MAKALAH
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN PADA SISWA SMP
Disusun oleh :
Kelompok STRES
Ade Isnawati
Afifudin
Agus Yazid
Bayu kumoro
STIKES AL-IRSYAD AL ISLAMIYYAH CILACAP
S-1 KEPERAWATAN
2010/2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kepribadian dengan judul “ PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN PADA SISWA SMP”
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan. Semoga pihak yang telah membantu mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, baik dalam penyusunan maupun sistematikannya. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya pada kita semua dan penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Cilacap, April 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai system psikofisis ( aspek mental dan fisik) yang menentukan caranya menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mempunyai struktur terdiri dari ID, EGO, SUPEREGO.
Remaja atau siswa SMP adalah seorang anak yang mempunyai umur antara 12-15 tahun. Pada masa ini banyak sekali terjadi perkembangan-perkembangan dalam dirinya, antara lain perkembangan emosional, perkembangan psikososial, perkembangan psikoseksual, perkembangan kognitif dan perkembangan moral pada anak seusia SMP tersebut.
Pada usia ini biasanya seorang anak mengalami masa pubersitas atau mulai berkembangnya psikoseksual seseorang, yang bias dilihat dari tanda-tanda fisik dan perilaku seksualnya.Perkembangan emosional juga mulai muncul dengan cara seseorang mulai bias mengontrol emosi atau mungkin masih labil, masih ikut-ikutan apa yang mereka lihat. Dari segi kognitif remaja sudah mulai tahu bagaimana cara belajar yang baik untuk mencapai cita-citanya. Perkembangan psikososial juga sudah mulai muncul pada usia ini bias dibuktikan dengan mulai ikut campur dalam organisasi masyarakat atau setidaknya organisasi dalam sekolahnya (OSIS). Dari perkembangan moral remaja mulai tahu mana perbuatan yang layak atau baik dan mana yang tidak layak atau tidak baik untuk dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN EMOSI REMAJA
1. Pengertian Emosi
Emosi adalah sesuatu yang kompleks dalam diri manusia.. Dalam Kamus Psikologi yaitu Mu’jam Ilm al-Nafs, mengartikan emosi sebagai infi’al yaitu keadaan dalam diri yang menunjukkan pengalaman dan perbuatan didzahirkan dalam suatu peristiwa yang berlaku seperti perasaan takut, marah, kecewa, gembira, suka dan duka. Dalam Encyclopedia of Social Psychology, mendefinisikan emosi sebagai hasil tindak balas kepada sesuatu kejadian atau peristiwa termasuk tindak balas psikologikal, tindak balas tingkah laku, tindak balas kognitif dan perasaan dialami sama ada menggembirakan atau tidak. Menurut Crow & crow (1958) (dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in his overt behavior.” Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Sedangkan menurut Lindsley bahwa emosi disebabkan oleh pekerjaan yang terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu mengalami frustasi, susunan syaraf bekerja sangat keras yang menimbulkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi pekerjaan otak, maka hal itu menimbulkan emosi.
2. Emosi mempengaruhi perubahan fisik dan tingkah laku
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan disertai oleh perubahan-perubahan pada fisik. Pada saat terjadi emosi sering kali terjadi perubahan perubahan pada fisik antara lain:
a. reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
b. peredaran darah: bertambah cepat bila marah
c. denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
d. pernapasan: bernapas panjang kalau kecewa
e. pupil mata: membesar mata bila marah
f. liur: mengering kalau takut atau tegang
g. bulu roma: berdiri kalau takut
h. pencernaan: mencret-mencret kalau tegang
i. otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor)
j. komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif. (Sunarto, 2002:150)
Dibawah ini adalah beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu di antaranya sebagai berikut :
a. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi)
c. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d. Terganggu penyesuaian social, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengarui sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. (Yusuf, 2004 : 115)
3. Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu.
Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidak stabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola prilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Hurlock, 2002 : 213). Emosi itu sendiri terjadi akibat adanya :
a. Stimulus yang merangsang atau menyentuh perasaan sehingga menimbulkan perasaan atau kata hati yang menyatakan suka atau tidak suka, sedih atau senang, puas atau tidak puas, dan sebagainya (consienceness)
b. Kesadaran yang mengaplikasikan perasaan yang timbul (awareness)
c. Khayal/bayangan atas kehendak yang ingin diwujudkan (imagination)
d. Keputusan yang diambil (decision)
e. Respons yang diwujudkan dalam bentuk verbal dan atau non verbal (reaction)
Pola emosi remaja adalah sama dengan pola emosi kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain. Perbedaan yang terlihat terletak pada macam dan derajat rangsangan yang mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi remaja.
a. Cinta/kasih saying
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya. Tidak ada remaja yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara terang-terangan, nakal, dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinan disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.(Sunarto,2002:152)
Pada zaman remaja adalah puncak wujudnya perasaan cinta romantis. Remaja yang mempunyai ciri-ciri romantik adalah remaja yang mengalami tarikan heteroseksual (tarikan antara remaja yang berlainan kelamin) melalui pendampingan mereka dengan remaja lain. Menurut Dr Rohaty Majzub, perasaan romantis membawa pengertian bahwa mereka menganggap dan menggambarkan individu yang dicintai itulah yang paling ideal, mempunyai watak, sahsiah atau ciri-ciri yang memikat hati remaja. Perasaan romantis remaja mempunyai pengaruh mendalam kepada hidup mereka. Perasaan romantis ini mendorong remaja menulis dalam diary peribadi. Penulisan diary peribadi adalah ciri yang menunjukkan pengasingan diri dan keupayaannya untuk menguraikan mengenai dirinya di samping keinginannya untuk lari daripada gelisah melanda dirinya. Remaja akan mencatatkan peristiwa harian terutama bagi menggambarkan perasaannya sama ada perasaan cinta, kecewa dan gembira.
Pada zaman remaja adalah puncak wujudnya perasaan cinta romantis. Remaja yang mempunyai ciri-ciri romantik adalah remaja yang mengalami tarikan heteroseksual (tarikan antara remaja yang berlainan kelamin) melalui pendampingan mereka dengan remaja lain. Menurut Dr Rohaty Majzub, perasaan romantis membawa pengertian bahwa mereka menganggap dan menggambarkan individu yang dicintai itulah yang paling ideal, mempunyai watak, sahsiah atau ciri-ciri yang memikat hati remaja. Perasaan romantis remaja mempunyai pengaruh mendalam kepada hidup mereka. Perasaan romantis ini mendorong remaja menulis dalam diary peribadi. Penulisan diary peribadi adalah ciri yang menunjukkan pengasingan diri dan keupayaannya untuk menguraikan mengenai dirinya di samping keinginannya untuk lari daripada gelisah melanda dirinya. Remaja akan mencatatkan peristiwa harian terutama bagi menggambarkan perasaannya sama ada perasaan cinta, kecewa dan gembira.
Kebutuhan akan kasih sayang dapat diekspresikan jika seseorang mencari pengakuan dan kasih sayang dari orang lain, baik orang tua, teman dan orang dewasa lainnya. Kasih sayang akan sulit untuk dipuaskan pada suasana yang mobilitas tinggi. Kebutuhan akan kasih sayang dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan yang lain. Kasih sayang merupakan keadaan yang dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati, kegagalan dalam mencapai kepuasan kebutuhan kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional (Yusuf , 2005:206)
b. Gembira dan bahagia
Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti dari pada perasaan marah dan takut atau tingkah problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima sebagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mandapat sambutan oleh yang dicintai. Perasaan bahagia ini dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja mampu menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh keberhasilan yang lebih baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya energi emosional dari situasi yang menimbulkan kegelisahan dirinya.
c. Kemarahan dan Permusuhan
1) Dalam upaya memahami remaja, ada empat faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah. Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Selama masa remaja, fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi independent, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2) Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap-sikap di mana ada sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi kemarahan masa lalu. Sikap permusuhan berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap permusuhan tanpak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura; remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar.
3) Perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan.
4) Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami. (Sunarto, 2002:154)
d. Ketakutan dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itusendiri. Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, seringkali berusaha untuk mengatasi ketakutan yang timbul dari persoalan kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu. Rasa takut yang disebabkan otoriter orang tua akan menyebabkan anak tidak berkembang daya kreatifnya dan menjadi orang yang penakut, apatis, dan penggugup. Selanjutnya sikap apatis yang ditimbulkan oleh otoriter orang tua akan mengakibatkan anak menjadi pendiam, memencilkan diri, tak sanggunp bergaul dengan orang lain (Willis, 2005:57)
e. Frustasi dan Dukacita
Frustasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Dukacita merupakan perasaan galau atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu individu. Keadaan ini terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita. Kalau dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang cukup serius.
4. Pembagian emosial remaja berdasarkan umur
Biehler (1972) dalam (Sunarto, 2002:155) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12–15 tahun dan usia 15–18 tahun
Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun :
Ciri-ciri emosional remaja usia 12-15 tahun :
a. Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
b. Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
c. Ledakan-ledakan kemarahan mungkin saja terjadi.
d. Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
e. Remaja terutama siswa-siswa SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih obyektif.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15–18 tahun
a) ‘Pemberontakan’ remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b) Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
c) Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15–18 tahun
a) ‘Pemberontakan’ remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b) Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami konflik dengan orang tua mereka.
c) Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Remaja
a. Belajar dengan coba-coba Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
b. Belajar dengan cara meniru Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain. Anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya.
c. Belajar dengan mempersamakan diri . Anak menyamakan dirinya dengan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. Yaitu menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama.
d. Belajar melalui pengkondisian. Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka, setelah melewati masa kanak- kanak.
e. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasa membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi- ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak menuju masa remaja. Mendekati berakhirnya remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang dan telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung yang disembunyikan. Contohnya, seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasa membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi- ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak menuju masa remaja. Mendekati berakhirnya remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang dan telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukan mungkin merupakan selubung yang disembunyikan. Contohnya, seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukan kemarahan, dan seseorang yang sebenarnya hatinya terluka tetapi ia malah tertawa, sepertinya ia merasa senang.
6. Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Emosi
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkn dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya, mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkn dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaliknya, mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga, anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut, cemas, dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang lahir kemudian dalam keluarga yang sama.
7. Hubungan Antara Emosi Dan Tingkah Laku Serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Rasa takut dan marah dapat menyebabkan seorang gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak, derasnya aliran darah, sistem pencernaan mungkin berubah selama permunculan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaan tidak enak menghambat pencernaan. Gangguan emosi dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah ditemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ berbicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang menjadi gagap. Sikap takut, malu-malu merupakan akibat dari ketegangan emosi dan dapat muncul dengan hadirnya individu tertentu. Karena reaksi kita yang berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu tertentu akan merangsang timbulnya emosi tertentu.
Suasana emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan remaja. Sebaliknya suasana penuh kasih sayang, ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian dialog antara orang tua dengan remaja sering terjadi. Dalam dialog tersebut mereka akan mengungkapkan keresahan, tekanan batin, cita-cita, keinginan, dan sebagainya. Akhirnya jiwa remaja akan makin tenang. Jika demikian maka remaja akan mudah diajak untuk bekerja sama dalam rangka mengajukan dirinya dibidang pendidikan dan karir (Willis,2005:22)
Suasana emosional yang penuh tekanan di dalam keluarga berdampak negatif terhadap perkembangan remaja. Sebaliknya suasana penuh kasih sayang, ramah, dan bersahabat amat mendukung pertumbuhan remaja menjadi manusia yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Dengan demikian dialog antara orang tua dengan remaja sering terjadi. Dalam dialog tersebut mereka akan mengungkapkan keresahan, tekanan batin, cita-cita, keinginan, dan sebagainya. Akhirnya jiwa remaja akan makin tenang. Jika demikian maka remaja akan mudah diajak untuk bekerja sama dalam rangka mengajukan dirinya dibidang pendidikan dan karir (Willis,2005:22)
8. Upaya Pengembangan, Pengelolaan dan Pengandalian Emosi
Rasa marah, kesal, sedih atau gembira adalah hal yang wajar yang tentunya sering dialami remaja meskipun tidak setiap saat. Pengungkapan emosi itu ada juga aturannya. Supaya bisa mengekspresikan emosi secara tepat, remaja perlu pengendalian emosi. Akan tetapi, pengendalian emosi ini bukan merupakan upaya untuk menekan atau menghilangkan emosi melainkan:
a. Belajar menghadapi situasi dengan sikap rasional
b. Belajar mengenali emosi dan menghindari dari penafsiran yang berlebihan terhadap situasi yang dapat menimbulkan respon emosional. Untuk dapat menanfsirkan yang obyektif, coba tanya pendapat beberapa orang tentang situasi tersebut.
c. Bagaimana memberikan respon terhadap situasi tersebut dengan pikiran maupun emosi yang tidak berlebihan atau proporsional, sesuai dengan situasinya, serta dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan social.
d. Belajar mengenal, menerima, dan mngekspresikan emosi positif (senang, sayang, atau bahagia dan negative (khawatir, sedih, atau marah) (http://www.kompas.com/kompas-cetak/htm).
Kegagalan pengendalian emosi biasanya terjadi karena remaja kurang mau bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Bawaannya main perasaan. Kegagalan mengekspresikan emosi juga karena kurang mengenal perasaan dan emosi sendiri sehingga jadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya.Karena itu, keterampilan mengelola emosi sangatlah perlu agar dalam proses kehidupan remaja bisa lebih sehat secara emosional. Keterampilan mengelola misalnya sebagai berikut:
a. Mampu mengenali perasaan yang muncul baik dalam diri sendiri maupun orang lain.
b. Mampu mengemukakan perasaan dan dapat menilai kadar perasaan
c. Mampu mengelola perasaan diri sendiri
d. Mampu mencoba untuk mengilangkan emosi negative, karena ini akan menyebabkan stress.
e. Mampu mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain
f. Mampu mengendalikan diri.
B. PERKEMBANGAN PSIKOSEKSUAL PADA REMAJA
Seiring dengan pertumbuhan fisik dan organ-organ seks yang terjadi pada remaja, matang pulalah kelenjar-kelenjar kelamin pada diri remaja hal ini menimbulkan adanya desakan-desakan baru yang ada pada diri remaja, berupa desakan-desakan untuk melakukan hubungan seksual. Perubahan Psikoseksual sendiri ditandai dengan timbulnya perubahan seksual, seperti mulai bisa merasakan rangsangan seksual, timbulnya pikiran seksual, seperti keinginan untuk berfantasi seksual, dan timbul dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis.
Fase pubertas ini berkisar dari usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun dan setiap individu memiliki variasi tersendiri. Masa pubertas sendiri berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga kesulitan pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pada fase itu remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis terutama emosi
Freud menyebut masa remaja sebagai fase genital, yaitu energi libido atau seksual yang pada masa pra remaja bersifat laten kini hidup kembali. Dorongan seks dicetuskan oleh hormon-hormon androgen tertentu seperti testosteron yang selama masa remaja ini kadarnya meningkat. Tidak jarang mereka melakukan masturbasi sebagai cara yang aman untuk memuaskan dorongan seksualnya, kadang-kadang mereka melakukan sublimasi terhadap dorongan seksualnya kearah aktifitas yang lebih bisa diterima, misalnya kearah sastra, psikologi, olah raga atau kerja sukarela, sistem sosial yang memadai sering membantu remaja menemukan cara-cara yang dapat menyalurkan energi seksualnya pada aktivitas atau peran yang lebih bisa diterima (Sadock, 1997) .
Salah satu pendapat Aristoteles tentang sifat remaja yang sampai saat ini masih juga dianggap benar adalah pernyataannya tentang kuatnya hasrat seksual pada fase ini, dengan gamblang dia mengungkapkan:
Orang-orang muda punya hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakannya dari hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri (Sarwono, 2001).
Orang-orang muda punya hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakannya dari hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri (Sarwono, 2001).
Pendapat Aristoteles diatas diperkuat dengan pendapat Kaplan & Sadock (1988), menurutnya pada fase remaja pertengahan berdasarkan literatur barat perilaku dan pengalaman seksual sudah menjadi kelaziman. Dari waktu-kewaktu mereka makin dini melakukan aktivitas seksual (rata-rata telah melakukan pada usia 16 tahun). Baru pada masa remaja akhir mereka mulai ada perhatian terhadap rasa kasih sayang sesama manusia, moral, etika, agama, dan mereka mulai memikirkan masalah-masalah dunia (Sadock, 1997). Jelasnya citra tubuh, minat berkencan, dan perilaku seksual pada remaja sangat dipengaruhi oleh perubahan pada masa pubertas, yaitu suatu periode dimana kematangan kerangkan dan seksual terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja.
C. PERKEMBANGAN KOGNITIF
1. Pengertian
Arajoo T.V (1986) menyatakan bahwa aspek kognitif meliputi fungsi intelektual seperti pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Untuk siswa SMP perkembangan kognitif utama yang dialami adalah formal operasional, yang mampu berpikir abstrak dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit, seperti peningkatan kemampuan analisis, kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada, kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori objek yang beragam. Selain itu ada peningkatan fungsi intelektual, kapabilitas memori dalam bahasa dan perkembangan konseptual. Dengan kata lain, bahasa merupakan salah satu alat vital untuk kegiatan kognitif.
2. Faktor-faktor perkembangan kognitif
I. Faktor Pendukung
Secara fisiologis, peserta didik usia SMP telah mengalami perubahan tubuh yang berkembang pesat sehingga mereka telah mampu melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang dewasa. Peningkatan kemampuan panca indra mengakibatkan peserta didik usia SMP memiliki ketrampilan lebih untuk dapat mempengaruhi dan mengikuti proses belajar mengajar.
Secara psikologis, faktor yang mempengaruhi peserta didik usia SMP adalah :
a. Kecerdasan /Intelegensia Siswa
Kemampuan formal operasional, yang mampu berpikir abstrak dengan menggunakan simbol-simbol tertentu atau mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit, seperti peningkatan kemampuan analisis, kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada, kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dari berbagai kategori objek yang beragam. Selain itu ada peningkatan fungsi intelektual, kapabilitas memori dalam bahasa dan perkembangan konseptual.
b. Motivasi
Motivasi yang mendorong siswa SMP ingin melakukan kegiatan belajar. adalah:
Dorongan ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia yang lebih luas yang belum pernah ia ketahui sebelumnya,Adanya keinginan untuk mencapai prestasi. Adanya Motivasi ekstrinsik adalah faktor yang datang dari luar diri individu tetapi memberi pengaruh terhadap kemauan untuk belajar. Seperti pujian, peraturan, tata tertib, teladan guru, orang tua, atau bahkan lawan jenis yang membuat peserta didik pada usia SMP terpacu untuk melakukan kegiatan belajar.
c. Minat
Kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu, membuat peserta didik usia SMP melakukan kegiatan pembelajaran.
d. Sikap
Sikap usia SMP yang memiliki kecenderungan berubah-ubah sehingga mereka kadang dalam keadaan yang baik untuk belajar karena mereka merespon atau bereaksi secara positif dari apa yang mereka rasakan dari dalam diri maupun luar dirinya.
e. Bakat
Seorang peserta didik SMP yang telah mengetahui bakat dan kemampuannya pada bidang yang sedang dipelajarinya, maka bakat itu akan mendukung proses belajarnya sehingga kemungkinan besar ia akan berhasil. Faktor-faktor eksternal juga dapat mendukung proses belajar siswa SMP. Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas yang baik dapat mempengaruhi proses belajar seorang siswa, lingkungan sekitar yang baik seperti kegiatan karang taruna, atau kursus yang dapat di ikuti oleh siswa SMP memberi pengaruh pada proses pembelajaran. Faktor instrumental hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga yang memadai dapat mempengaruhi kegiatan anak SMP dalam meningkatkan intelegensia dan potensi yang dimilikinya. Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa) diharapkan menjadi lebih terbuka yang dapat diterima oleh kondisi fisik dan psikologis SMP sehingga dapat mendukung kegiatan belajar mengajar.
II. Faktor Penghambat
Adanya keterlambatan atau perbedaan dari pertumbuhan fisik dengan teman- teman yang lain dalam perkembangan fisiologis dapat mengakibatkan peserta didik usia SMP pengaruh yang buruk dalam mengikuti proses belajar mengajar.
Secara psikologis, faktor yang menghambat belajar peserta didik usia SMP adalah :
a. Kurangnya motivasi baik dalam diri maupun lingkungan sekitar sehingga sangat berpengaruh buruk pada proses belajar.
b. Adanya sikap Kegelisahan, Pertentangan, dan belum mengenal diri dan Bakat yang dimiliki sehingga peserta didik SMP menjadi sedikit tidak berminat pada proses belajar mengajar.
Faktor-faktor eksternal juga dapat menghambat proses belajar (kognitif) siswa SMP :
a. Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas yang tidak mendukung mengakibatkan proses belajar mengajar anak SMP tidak berjalan semestinya.
b. Lingkungan keluarga yang tidak harmonis sangat mempengaruhi kondisi mental dan spiritual anak SMP dalam proses belajar.
c. Kurangnya sarana dan prasarana dalam peningkatan kemampuan intelegensia seperti buku, gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olah raga membuat proses belajar anak SMP terhambat.
d. Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa) bersifat monoton sehingga dapat menghambat keinginan kegiatan belajar mengajar anak SMP.
D. PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
Empat pendekatan perkembangan psikososial orang dewasa diwakili oleh:
a. Model_Tahapan_Normatif
Erikson percaya bahwa kepribadian terus berubah sepanjang hidup. Model normative ini-keseluruhannya didasarkan pada riset yang hanya dilakukan
terhadap pria-menyatakan bahwa semua orang mengikuti rangkaian dasar
perubahan terkait usia dan emosional yang sama. Perubahan tersebut bersifat normatif, dalam arti perubahan tersebut tampaknya sebagai hal yang biasa bagi sebagian besar anggota populasi; dan muncul dalam periode berurutan, atau tahapn-tahapan, yang terkadang ditandai dengan krisis emosional yang melapangkan jalan kepada perkembangan yang lebih jauh lagi. Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson, intimasi versus isolasi, adalah isu utama masa dewasa awal. Jika seorang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain, kata Erikson, maka mereka akan terisolasi dan terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri (self absorb). Akan tetapi, mereka juga butuh kesendirian sebagai upaya merefleksikan kehidupan meraka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan dari intimisi, kompetisi dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan. Pesan terpenting model tahapan normative asalah orang dewasa harus terus berubah, berkembang, dan tumbuh. Terlepas apakah seseorang akan tumbuh atau tidak dalam cara tertentu yang dilakukan oleh model tersebut, mereka telah menantang pendapatan yang menyatakan bahwa jarang sekali hal penting terjadi pada kepribadian setelah masa remaja.
Erikson percaya bahwa kepribadian terus berubah sepanjang hidup. Model normative ini-keseluruhannya didasarkan pada riset yang hanya dilakukan
terhadap pria-menyatakan bahwa semua orang mengikuti rangkaian dasar
perubahan terkait usia dan emosional yang sama. Perubahan tersebut bersifat normatif, dalam arti perubahan tersebut tampaknya sebagai hal yang biasa bagi sebagian besar anggota populasi; dan muncul dalam periode berurutan, atau tahapn-tahapan, yang terkadang ditandai dengan krisis emosional yang melapangkan jalan kepada perkembangan yang lebih jauh lagi. Tahap keenam perkembangan psikososial Erikson, intimasi versus isolasi, adalah isu utama masa dewasa awal. Jika seorang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen personal yang dalam terhadap orang lain, kata Erikson, maka mereka akan terisolasi dan terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri (self absorb). Akan tetapi, mereka juga butuh kesendirian sebagai upaya merefleksikan kehidupan meraka. Ketika mereka berusaha menyelesaikan tuntutan saling berlawanan dari intimisi, kompetisi dan jarak, mereka mengembangkan pemahaman etis, yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan. Pesan terpenting model tahapan normative asalah orang dewasa harus terus berubah, berkembang, dan tumbuh. Terlepas apakah seseorang akan tumbuh atau tidak dalam cara tertentu yang dilakukan oleh model tersebut, mereka telah menantang pendapatan yang menyatakan bahwa jarang sekali hal penting terjadi pada kepribadian setelah masa remaja.
b. Model_timing_ofevent
Alih-alih melihat perkembangan kepribadian orang dewasa sebagai fungsi dari usia, model timing of event, yang didukung oleh Bernece Neugarten dan yang lain (Neurgarten, Moore & Lowe, 1965; Neurgarten & Neurgarten, 1987), berpendapat bahwa rangkaian perkembangan tersebut tergantung kapan peristiwa tertentu terjadi dalam kehidupan seseorang. Peristiwa yang terrjadi sesuai perkiraan disebut tepat waktu (on time); sedangkan peristiwa yang terjadi lebih awal atau lebih lambat disebut off time. Peristiwa yang menajdi normative ketika terjadi “tepat” waktu menjadi tidak normatif ketika terjadi “di luar waktu” yang telah diperkirakan.
Alih-alih melihat perkembangan kepribadian orang dewasa sebagai fungsi dari usia, model timing of event, yang didukung oleh Bernece Neugarten dan yang lain (Neurgarten, Moore & Lowe, 1965; Neurgarten & Neurgarten, 1987), berpendapat bahwa rangkaian perkembangan tersebut tergantung kapan peristiwa tertentu terjadi dalam kehidupan seseorang. Peristiwa yang terrjadi sesuai perkiraan disebut tepat waktu (on time); sedangkan peristiwa yang terjadi lebih awal atau lebih lambat disebut off time. Peristiwa yang menajdi normative ketika terjadi “tepat” waktu menjadi tidak normatif ketika terjadi “di luar waktu” yang telah diperkirakan.
c. Model_trait
Model trait memperhatikan stabilitas atau perubahan dalam sifat kepribadian. Paul T. Costa dan Robert R. McCrae, telah mengembangkan dan menguji model lima factor yang terdiri dari berbagai factor yang tampaknya mendasari lima kelompok sifat yang saling berhubungan yaitu:
Model trait memperhatikan stabilitas atau perubahan dalam sifat kepribadian. Paul T. Costa dan Robert R. McCrae, telah mengembangkan dan menguji model lima factor yang terdiri dari berbagai factor yang tampaknya mendasari lima kelompok sifat yang saling berhubungan yaitu:
i. Neurosisme. Kumpulan enam sifat negative yang mengindikasikan ketidakstabilan emosional: kepanikan, sikap bermusuhan, depresi, kesadaran diri, impulsive dan rapuh.
ii. Extraversion. Orang extravert bersifat sosial dan menyukai perhatian. Mereka terus sibuk dan aktif; mereka secara konstan mencari kehebohan dan mereka menikmati kehebohan.
iii. Open to experience. Orang yang oen to experience ingin mencoba hal-hal yang barudan penuh berisi ide-ide yang baru.
iv. Conscientious. Orang–orang conscientious adalah mereka yang berprestasi; mereka kompeten, teratur, patuh, tenang, dan berdisplin.
v. Agreeable. Orang yang agreeable adalah mereka yang dapat dipercaya, terus terang, mengalah, rendah hati, mudah dipengaruhi.
d. Model Tipologikal
Block (1971) merupakan pelopor pendekatan tipologis. Pendekatan ini memandang kepribadian sebagai pelaksanaan fungsi yang mempengaruhi dan yang merefleksikan sikap, nilai, perilaku, dan interaksi sosial. Riset tipologis tidak selalu berlawanan dengan riset sifat, tetapi mencoba melengkapi dan memperluasnya (Caspi, 1998). Menggunakan berbagai teknik termasuk
E. PERKEMBANGAN MORAL
Dalam teori Kohlberg, perkembangan moral anak-anak dan remaja mengiringi kematangan kognisi. Pada masa dewasa, penilaian moral seringkali menjadi lebih kompleks. Pengalaman mungkin mengarahkan orang dewasa untuk mengevaluasi kembali criteria mereka tentang bener dan salah. Sebagian orang secara spontan menyebut pengalaman personal sebagai alasan jawaban mereka terhadap dilemma moral. Misalnya, orang-orang yang mengidap kanker atau saudara yang memiliki penyakit tersebut, berkecenderungan lebih besar memaafkan pria yang mencuri obat mahal semi istrinya yang sedang sakit sekarat, dan menjelaskan pandangan ini dari pengalaman mereka sendiri (Bielby&Papalia, 1975). Pengalaman seperti ini amat di warnai oleh emosi, memicu pemikiran ulang dengan cara yang tidak biasa dilakukan oleh diskusi impersonal dan hipotesis, dan pengalaman ini lebih mungkin membuat orang melihat sudut pandang orang lain. Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif bukanlah segalanya. Tentu saja seseorang yang pemikirannya masih egosentris berkecenderungan lebih kecil membuat keputusan moral pada level postkonvensional; akan tetapi bahkan seseorang yang dapat berpikir secara abstrak bisa jadi tidak mencapai level tertinggi perkembangan moral kecuali pengalamannya menyatu dengan kognisisnya. Pengalaman diinterpretasikan dalam konteks cultural.
Tahap ketujuh. Beberapa saat sebelum kematian Kohlberg ditahun 1987, ia mengemukakan tahap ketujuh penalaran moral, yang bergerak melampaui keadilan dan lebih mirip dengan transenden diri pada tradisi timur. Pada tahap ketujuh, orang dewasa menjawab pertanyaan, “mengapa harus bermoral?” (Kohlberg & ryncarz,1990, hlm. 192; peneknan dalam kalimat tersebut merupakan tambahan). Jawabannya, kata Kohlberg, terletak pada pencapaian perspektif kosmis “perasaan menyatu dengan alam, kosmos, atau Tuhan”, yang memungkinkan seseorang melihat isu moral “dari sudut pandang dunia sebagai sebuah kesatuan” (Kohlberg & ryncarz,1990, hlm. 1991,207).
Gender dan perkembangan moral. Carol Gilligan (1982, 1987a,1987b) berpendapat bahwa system kolhberg memberikan tempat lebih tinggi kepada nilai “maskulin” keadilan ketimbang nilai “feminine” perasaan kasih saying, tanggung jawab dan perhatian.
PENUTUP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda
terimakasih telah berkunjung ke blog saya :)
semoga bermanfaat :)