Sabtu, 14 April 2012

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (ppok)

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
( PPOK )


A. Defenisi
            Menurut WHO yang dituangkan dalam Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2001 dan di-update tahun 2005, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakteristir oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umunya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Beberapa rumah sakit di Indonesia ada yang menggunakan istilah PPOM (Penyakit Paru Obstruksi Menahun) yang merujuk pada penyakit yang sama.
            Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronchitis kronis atau emfisma. Bronchitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mucus berlebihan kedalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai keujung bronkiole yang abnormal dan permanent, disertai dengan kerusakan dinding alveolus. Pasien pada umumnya mengalami kedua gangguan ini, dengan salah satunya dominant.

B. Epidemiologi

            Menurut data Surkernas tahun 2001, penyakit pernafasan (termasuk PPOK) merupakan penyebab kematian ke-2 di Indonesia. Prevalensi PPOK meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi ini juga lebih tinggi pada pria daripada wanita. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada negara-negara dimana merokok merupakan gaya hidup, yang menunjukan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama. Di AS, penyakit ini merupakan penyebab kematian ke-4, di mana angka kesakitannya meningkat dengan usia dan lebih besar pada pria daripada wanita. Kematian akibat PPOK sangat rendah pada pasien usia dibawah 45 tahun, dan meningkat dengan bertambahnya usia.

C. Etiologi


            Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah :
1.      Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mmengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10% orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2.      Pekerjaan
      Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluena diisosianat, dan asbes, mempunyai resiko yang lebih besar daripada yang bekerja ditempat yang selain yang disebutkan diatas.
3.      Polusi udara
Pasien yang mempunyai gangguan paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari asap dapur, asap pabrik, dll.
Sedangkan faktor resiko yang berasal dari host / pasiennya antara lain adalah :
1.      Usia
      Semakin bertambah usia semakin besar resiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1 antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami 1% pasien PPOK.
2.      Jenis kelamin
      Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.
3.      Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi
      Adanya gangguan fungsi paru-paru merupaka faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi immunoglobulin A (IgA/hypogammaglobulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk didalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.
4.      Predisposisi genetik, yaitu defisiensi α1 antitripsin (AAT)
      Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Pada peristiwa inflamasi, makrofag dan netrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan di paru. Pada individu normal, faktor protektif AAT akan menghambat enzim proteolitik sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, individu yang mengalami defisiensi AAT akan lebih rentan terhadap kerusakan paru akibat berkurangnya faktor proteksi ini.
      AAT diproduksi oleh gen inhibitor protease (M). Satu dari 2500 orang adalah homozigot untuk gen resesif (Z), yang menyebabkan kadar AAT dalam darah rendah dan berakibat emfisema yang timbul lebih cepat. Orang yang heterozigot (mempunyai gen MZ) juga berisiko menderita emfisema, yang makin meningkat kemungkinannya dengan merokok karena asap rokok juga dapat menginaktivasi AAT. Wanita mempunyai kemungkinan perlindungan oleh estrogen yang akan menstimulasi sintesis inhibitor protease seperti AAT. Karenanya, faktor risiko pada wanita lebih rendah daripada pria.

D. Patofisiologi
PPOK dikarakteristikkan dengan adanya inflamasi bronkus di sepanjang saluran pernafasan, parenkim paru, dan sistem pembuluh darah pulmonar. Terdapat pen ingkatan jumlah makrofag, sel limfosit T ( terutama CD8+ ), dan neutrofil di berbagai bagian paru. Sel inflamasi yang teraktifkan ini akan melepaskan berbagai mediator inflamasi yang dapat merusak struktur paru atau memperlama inflamasi neutrofilik. Inflamasi di paru-paru disebabkan oleh paparan partikel dan gas berbahaya yang terhirup. Asap rokok dapat memicu inflamasi dan secara langsung merusak paru-paru.

1. Bronkitis Kronik
            Secara normal silia dan mukus di bronkus melindugi dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus – menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat pembersihan mukosiliar (mukosiliar clearance). Faktor yang menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya poliferasi sel goblet dan pergantian epitel yang bersilia dengan yang tidak besilia. Hiperplasia dan hipertrofi kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran nafas. Iritasi asap rokok juga menyebabkan inflamasi broniolus (bronkiolitis) dan (alveolitis). Akibatnya makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama dengannya adanya produksi mukus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli. Banyaknya mukus yang kental dan lengket serte menurunnya pembersihan mukosiliar dapat meningkatkan resiko infeksi.
            Inflamasi yang terjadi pada bronkitis kronis dengan pengeluaran mukus dan penyempitan lumen bronkus juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernafasan yang kecil, yang makin mempersempit saluaran pernafasan. Autopsi menunjukan bahwa pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter saluran pernafasan yang kurang dari 0,4 mm.
PhotoCOPD
Gambar. Bronkitis Kronis

Secara ringkas dapat dilihat pada bagan berikut ini:

Iritan / polutan ( ex:asap rokok)
ò
Menghambat pembersihan mukosasiliar
                                                                   ò dikarenakan
Proliferasi sel globet dan pergantian epitel yang bersilia
dengan yang tidak bersilia
ò
Iritan tidak dapat dikeluarkan dari bronkus ð Iritasi bronkiole
ò
Hiperplasia, hipertrofi & proliferasi kelenjar mukosa
ò
Hipersekresi mukus dan sumbatan di bronkiolus dan alveoli
ò
Obstruksi pada bronkus

Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk membersihkan mukus, maka pasien dapat memderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat menyerangnya yaitu streptococcuc pneumoniae dan Haemophilus influenza. Tanda – tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental dan perubahan warna. Demam dapat terjadi atau pun tidak. Infeksi yang berulang dapat menyebabkan keparahan akut pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan pada status pulmonar dan berkontribusi secara signifikan pada percepatan penurunan fungsi pulmonar karena inflamasi menginduksi fibrosis pada pada bronkus dan bronkiolus.

2. Emfisema
19376
Gambar. Emfisema
Emfisema khususnya melibatkan asinus yaitu bagian dari paru – paru yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas. Asinus yaitu bagian paru – paru yang bertanggungjawab untuk pertukaran gas. Asinus terdiri bronkiolus, duktus alveolus dan kantong alveolar. Pada emfisema terjadi kerusakan dinding dalam asinus sehingga permukaan untuk pertukaran gas berkurang. Ada beberapa tipe emfisima berdasarkan pola asinus yang terserang, tetapi yang paling berkaitan dengan PPOK adalah emfisema sentrilobular. Emfisema tipe ini secara selektif menyerang bagian bronkiolus. Dinding – dinding mulai berlubang, membesar dan bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula – mula duktus alveolaris dan kantung alveveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan. Penyakit ini seringkali lebih berat menyerang pada bagian atas paru – paru, tetapi akhirnya cenderung tersebar tidak merata. Emfisema sentrilobular lebih banyak ditemukan pada orang yang merokok dan jarang dijumpai pada orang yang tidak merokok.
            Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hal ini menyebabkan tertekannya jalan udara selama penghembusan nafas yang berkontribusi secara signifikan pada alur obstruksi yang terlihat pada tes fungsi pulmunar. Hilangnya dinding alveolar berakibat pada hilangnya jaring kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik daripada brokitis kronik. Oleh karena itu, pada pasien emfisema lebih banyak mengalami dyspnea(sesak nafas) daripada pasein bronkitis.
Berikut bagan terjadinya PPOK yang disebabkan oleh emfisema:

E. Tanda dan Gejala PPOK

Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK :
  1. Batuk kronis
Terjadi berselang atau beberapa hari dan seringkali terjadi sepanjang hari
  1. Produksi sputum secara kronis
  2. Bronkitis akut
  3. Sesak nafas (dipsnea)
Bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika berolahraga, dan memburuk jika terjadi infeksi saluran pernafasan.
  1. Riwayat paparan terhadap faktor risiko (merokok, pertikel / senyawa kimia, dan asap dapur)

Gejala klinik PPOK :
  1. Smoker’s cough” (batuk khas perokok), biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.
  2. Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau, atau kekuningan bila terjadi infeksi.
  3. Dipsnea (sesak nafas), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasan.

Gejala PPOK pada eksaserbasi akut :
  1. Peningkatan volume sputum
  2. Perburukan pernafasan secara akut
  3. Dada terasa berat (chest tightness)
  4. Peningkata purulensi sputum
  5. Peningkatan kebutuhan bronkodilator
  6. Lelah dan lesu
  7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik (cepat lelah, terengah-engah)


Gejala pada kasus PPOK berat :
  1. Cyanosis (kulit membiru) akibat terjadi kegagalan respirasi
  2. Gagal jantung kanan (cor pulmonale) dan edema perifer
  3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukkan gejala wajah yang memerah yang disebabkan polycythemia (erythrocytosis, jumlah eritrosit yang meningkat)

F. Klasifikasi PPOK

1.      Berdasarkan tandanya :
a.       Tipe A ( didominasi oleh emfisema, disebut juga pink puffer)
Karakteristik :
·         Pasien  mengalami peningkatan dipsnea termasuk dalam keadaan istirahat, dengan batuk yang jarang.
·          Pasien mengalami takipnea (bernafas dengan cepat) karena pusat pernafasan merespon hipoksemia dan wajah pasien akan terlihat kemerahan (pink puffer). Hal ini karena pasien melakukan hiperventilasi untuk mengkompensasi hipoksemia dengan bernafas short puff  (pendek-pendek).
·         Pasien terlihat lemah dan bibir mengatup dalam usaha untuk mengkompensasi kurangnya elastisitas pengempisan dan mengeluarkan sejumlah besar udara. Pasien juga mengalami takipnea saat istirahat, sering duduk dengan dada ke depan dan tangan beristirahat di lutut, karena posisi seperti ini membutuhkan energi sedikit untuk bernafas.
b.      Tipe B (didominasi oleh bronkitis kronis, disebut blue bloaters)
Karakteristik :
·         Pasien mengalami kelebihan berat badan, mempunyai riwayat batuk produktif dan telah meningkat dalam frekuensi dan durasi, serta ada peningkatan dipsnea.
·         Pasien mengalami blue bloaters karena cenderung untuk menahan karbondioksida akibat penurunan respon pusat pernafasan terhadap hipoksemia.
·         Terdapat edema perifer akibat cor pulmonale
·         Diameter anteroposterior dada meningkat
·         Pada kronik hipoksemia terjadi sianosis pada bibir, membran mukosa, dan ekstremitas.

2.      Berdasarkan tingkat keparahannya :
Tingkat keparahan PPOK berdasarkan nilai, FEV, dan gejala (Gold, 2005)

Tingkat
Gejala
0
beresiko
 Memiliki satu atau lebih batuk kronis, produksi sputum, dan dipsnea. Ada paparan terhadap faktor resiko (rokok dan polusi)
1
ringan
FEV 1/FVC < 70%, FEV1 > 80%, dan umumnya tapi tidak selalu, ada gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini biasanya pasin belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah
2
sedang
FEV 1/FVC < 70% ; 50% < FEV1 < 80%, gejala mulai progresif atau memburuk dengan nafas pendek-pendek
3
berat
FEV 1/FVC < 70% ; 30% < FEV1 < 50%, Terjadi eksaserbasi berulang yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas atau serangan penyakit
4
sangat berat
FEV 1/FVC < 70%, FEV1 < 30% atau < 50% plus kegagalan respirasi kronis. Peasien bias digolongkan masuk tahap IV jika walaupun FEV1 > 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan atau gagal jantung kanan. Kualitas hidup pasien sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa
G. Diagnosis

Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala yang ditunjukkan pasien seperti batuk, produksi sputum, dispnea, serta peningkatan factor resiko dari merokok dan pekerjaan yang berat.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
  1. Batuk, sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau muko purulen
  2. Pemeriksaan fisik
§  Pasien biasanya tampak kurus dengan Barrel-barrel chest (diameter anteroposterior dada meningkat)
§  Perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru-hati lebih rendah, pekak jantung berkurang
§  Suara napas dan suara jantung lemah

  1. Pemeriksaan Radiologi
§  Foto dada pada bronchitis kronik
-          Tubular shadows atau tram lines terlihat bayangan garis-garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal
-          Corak paru yang bertambah
§  Foto dada pada emfisema paru
-          Terjadi overinflasi (dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, bahkan kadang-kadang terlihat konkaf) dan pulmonary oligoemia (penciutan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan ke distal)
-          Corak paru yang bertambah

  1. Pemeriksaan Fungsi Paru
            Terdapat penurunan FEV1, FVC, FEV1/FVC%. Kapasitas difusi pada emfisema berkurang karena banyak alveolus yang rusak, sedangkan pada bronchitis relative lebih normal.
      Dengan alat spirometri dapat diukur beberapa parameter faal paru yaitu:
§  Kapasitas vital paksa (KVP) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa setelah inspirasi maksimal
§  Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa detik pertama
§  Rasio VEP1/KVP
                  Apabila nilai VEP1 kurang dari 80% nilai dugaan, rasio VEP1/KVP
            kurang dari 75 % menunjukkan obstruksi saluran napas.
§  Arus puncak ekspirasi (APE)

      Bila digunakan spirometri yang lebih lengkap dapat diketahui parameter lain:
§  Kapasitas vital (KV), yaitu jumlah udara yang dapat diekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal
§  Kapasitas paru total (KPT), yaitu jumlah total udara dalam paru pada saat inspirasi maksimal
§  Kapasitas residu fungsional (KRF), yaitu jumlah udara dalam paru saat akhir ekspirasi biasa
§  Volume residu (VR), yaitu jumlah udara yang tertinggal dalam paru pada akhir ekspirasi maksimal
§  Air trapping, selisih antara KV dengan KVP

  1. Analisa Gas Darah
                  Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emfisema paru sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi. Sebaliknya pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga PaCO2 naik. Saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis. Terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoesis.
                  Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada pasien yang berumur lebih dari 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan timbul lebih cepat.

  1. Pemeriksaan EKG
  2. Tes Laboratoium 
§  Pada bronchitis kronik, Hb dan hematokrit meningkat akibat hipoksemia.
§  Pemeriksaan sputum perlu untuk melihat ada atau tidaknya infeksi

H. Tujuan Terapi

Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi terapi untuk pemeliharaan pada PPOK stabil dan pada eksaserbasi akut, yaitu:
1.      PPOK stabil:
§  Menghidari zat-zat yang mengiritasi brokus
§  Mencegah atau mengatasi infeksi
§  Memperbaiki keadaan obstruksi kronik
§  Mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut
§  Menurunkan kecepatan peningkatan penyakit
§  Meningkatkan keadaan fisik dan psikologis pasien
2.      Eksaserbasi akut:
      Memelihara fugsi pernafasan dan memperpanjang survival.

I. Startegi Terapi

a. Terapi non farmakologi
Penatalaksanaan terapi pasien PPOK secara non farmakologi diawali dengan assesment dan pemantauan penyakit pasien serta mengurangi faktor resiko. Pasien dengan batuk kronis dan produksi sputum dengan riwayat paparan terhadap faktor resiko harus dicek untuk fungsi pernafasannya walaupun tidak mengalami dispnea. Spirometri merupakan standar baku karena merupakan cara yang telah terstanarisir, reprodusibel, dan obyektif untuk mengukur fungsi pernafasan.
Penatalaksanaan terapi non farmakologidapat berupa:
§  Penghentian merokok
Ä merupakan tahap pertama yang penting yang dapat memperlambat
     memburuknya tes fungsi paru-paru, menurunkan gejala, dan
     meningkatkan kualitas hidup.
§  Rehabilitasi paru secara komprehensif ( fisioterapi, latihan pernafasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase postural dll)
§  Perbaikan nutrisi
Ä diet kaya protein, mencegah makanan berat menjelang tidur, hindari
     susu.

b. Terapi Farmakologi

Algoritma Terapi PPOK ( GOLD,2005 )




Peanatalaksanaan terapi pada PPOK terdiri dari:
1.      Penatalaksanaan PPOK yang stabil
Penggunaan obat ditujukan untuk mengurangi gejala dan komplikasi. Penggunaan bronkodilator merupaka terapi utama untuk menatalaksana gejala PPOK.

2.      Penatalaksanaan eksaserbasi akut
Memerlukan intervensi medis dan obat-obatan, seperti bronkodilator inhalasi, teofilin, dan kortikosteroid sistemik. Untuk pasien yang mengalami gejala klinis infeksi seperti peningkatan volume dan purulent sputum dan demam sebaiknya diberi antibiotik. Bantuan pernafasan berupa Noninvasive positive pressure ventilation (NIPPV) terbukti dapat memperbaiki gas dan PH darah, mengurangi mortalitas di rumah sakit, mengurangi ventilasi yang invasif, dan mengurangi lama rawat di RS.


1. Antikolinergik
Digunakan sebagai lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Termasuk golongan ini adalah atropine dan ipratropium bromide. Mekanisme kerjanya adalah menghambat reseptor kolinergik pada otot bronchial. Kolinergik menstimulasi peningkatan aktivitas guanil siklase, yaitu enzim yang mengkatalis pembentukan cyclic guanosine 3’, 5’- monophosphate (GMP). Siklik GMP menstimulasi bronkokonstriksi. Aktivitas antikolinergik ini memblok kerja asetilkolin sehingga menurunkan pembentukan siklik GMP, dan hasilnya adalah menghambat bronkokonstriksi.
Antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih besar daripada simpatomimetik saat dites fungsi paru- parunya. Dengan demikian terdapat hubungan penting antara system kolinergik sebagai mediator tonus bronchial pada pasien PPOK. Antikolinergik dapat mempertahankan keefektifannya selama bertahun- tahun dalam penggunaan yang teratur terus- menerus.

2. Simpatomimetik
Simpatomimetik selektif β2 bersifat bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan pembentukan adenosine 3’, 5’ monophosphate (3’,5’-cAMP). Golongan ini juga mungkin meningkatkan pembersihan mukosiliar.
Pada pasien dengan PPOK yang stabil, simpatomimetik didirekomendasikan sebagai terapi lini kedua, sebagai tambahan atau menggantikan ipratopium untuk pasien yang tidak menunjukkan keuntungan klinik yang memuaskan dengan menggunakan ipratropium saja. Bagaimanapun juga, penggunaan simpatomimetik pada akut eksaserbasi merupakan pilihan pertama karena onset kerjanya yang cepat.
Kondisi lain di mana simpatomimetik sangat berguna meliputi:
a.       Digunakan sebagai monoterapi untuk episode PPOK yang ringan
b.      Digunakan untuk gejala PPOK yang stabil secara kronik dalam kombinasi dengan antikolinergik
c.       Digunakan dalam gejala PPOK yang stabil secara kronik sebagai obat yang tetap.
Bila respon terhadap ipratropium saja kurang memuaskan, pasien sebaiknya menggunakan inhalasi β2 agonis walaupun bila FEV1 tidak berubah, karena mekanisme selain bronkodilator dari golongan ini (yaitu pembersihan mukosiliar) dapat membantu.

3. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik
Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk. Kombinasi dua golongan bronkodilator ini mungkin akan lebih efektif dibandingkan digunakan sendiri- sendiri, selain itu juga dapat menurunkan dosis efektifnya sehingga menurunkan potensi efek sampingnya. Kombinasi antara suatu β- agonis aksi pendek maupun panjang dengan antikolinergik terbukti dapat meningkatkan efek perbaikan gejala dan fungsi paru.



4. Metilxantin
Golongan metilxantin (teofilin, aminofilin) cukup lama digunakan pada pengobatan PPOKsebagai terapi lini pertama. Namun dengan makin banyaknya golongan β- agonis dan antikolinergik inhalasi, serta banyaknya potensi interaksi obat dengan teofilin/ aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter pasien, golongan metilxantin ini bergeser menjadi terapi lini ketiga. Teofilin atau aminofilin umumnya digunakan jika pasien intoleran terhadap bronkodilator lainnya.
Bentuk sediaan lepas lambat merupakan bentuk yang paling tepat untuk terapi pemeliharaan PPOK, karena menghasilkan kadar serum yang lebih konsisten. Namun perlu diperhatikan jika akan mengganti bentuk sediaan lepas lambat dari suatu paten ke nama paten lain, karena seringkali ada variasi karakteristik lepas lambat yang harus dipertimbangkan. Penggunaan golongan metilxantin sendiri tidak banyak memberikan perbaikan atau perburukan pada perkembangan penyakit PPOK. Namun bila ia diberikan sebagai terapi tambahan bagi bronkodilator lain, beberapa studi menunjukkan efek yang bermanfaat, yang mendukung hipotesis bahwa terdapat efek yang sinergistik pada bronkodilatasi. Penggunaan kombinasi teofilin dan salmeterol misalnya, dilaporkan depat meningkatkan fungsi paru dan mengurangi dispnea dibandingkan jika digunakan secara tunggal.
Untuk terapi pemeliharaan, teofilin digunakan dengan dosis awal 200mg 2x sehari, dan ditritasi meningkat dalam 3-5 hari, sampai dicapai dosis lazimnya antara 400-900 mg sehari. Penyesuaian dosis selanjutnya seharusnya dilakukan berdasarkan kadar serumnya. Dan selanjutnya perlu dipantau efek samping maupun toksisitasnya, serta interaksinya dengan obat lain.

5. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK, yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mucus, menghambat pelepasn enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin. Sayangnya, manfaat klinis terapi dengan kortikosteroid sistemik belum banyak didukung oleh fakta, sementara resiko efek samping dan toksisitasnya lebih mengemuka.
Kortikosteroid dimulai selama eksaserbasi akut bila kondisi pasien memburuk atau tidak membaik, walaupun telah menggunakan antikolinergik, simpatomimetik, atau metilksantin. Terapi dimulai dengan metal prednisolon 0,5-1 mg/kg iv setiap 6jam. Bila gejala pasien telah membaik, dapat diganti dengan prednisolon 40-60mg sehari. Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering dalam 7-14hari, bila memungkinkan, untuk meminimalisasi penekanan Hypothalamic Pituatary Adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih lama, digunakan dosis rendah yaitu 7,5mg/hari, diberikan pada pagi hari atau selang hari. Pasien yang memerlukan terapi steroid lanjutan, pemberian oral prednisolon dengan jumlah besar dan dalam waktu singkat selama status klinik buruk akan efektif dalam menurunkan waktu tinggal di rumah sakit.

6. Long-term Oksigen
Penggunaan oksigen berkesinambungn (>15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan arteri pulmonary, polisitemia (hematokrit > 55%), mekanik paru, dan status mental. Terapi oksigen sebaiknya diberikan pada pasien PPOK dengan tingkat keparahan IV (sangat berat) jika:
  1. Pa O  7,3 kPa (55 mmHg) atau Sa O 88%, dengan atau tanpa hiperkapnia, atau
  2. Pa O  antara 55mmHg – 60mmHg, atau Sa O *9%, tetapi ada tanda hipertensi pulmonar, edema perifer yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif atau polisitemia.
Cara pemberiannya adalah dengan kanula hidung yang menyalurkan 24-28% oksigen (1-2 l/menit). Tujuannya adalah mencapai Pa O   diatas 60mmHg. Pada pasien yang diketahui menahan C O harus hati-hati dalam menaikkan Pa O   terlalu tinggi karena akan menekan pernafasan.



7. Antibiotik
Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK adalah infeksi , baik infeksi virus atau bakteri. Data menunjukkan bahwa sedikitnya 80% eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi. Sebuah studi metaanalisis dari 9studi klinik menunjukkan bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan perbaikan fungsi paru (peak expiratory flow rate) lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menerima. Studi tersebut menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus mulai diawali jika pasien memperlihatkan 2 tanda dari 3 tanda berikut ini: peningkatan dyspnea (sesak nafas), peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum.
Berikut terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK (Bourdet dan William, 2005):
Karakteristik pasien
Patogen penyebab yang mungkin
Tx yang direkomendasikan
 Eksaserbasi tanpa
 komplikasi, <4X
 eksaserbasi slm 1thn,
 tdk ada pnyakit
 penyerta, FEV>50%
 S.pneumonia ,H.influenza,
 H.parainfluenza,dan
 M.catarrhalis umumnya
 tdk resisten
 Makrolid, (Azitromisin,
 Klaritromisin), sefalosporin
 generasi 2/3 atau doksisiklin
 Eksaserbasi kompleks,
 umur>65th, >4X
 eksaserbasi/thn, FEV
 35-50%
 Seperti diatas, ditambah
 H.influenza dan
 M.catarrhalis penghasil ß
 lactamse
 Amoksisilin/Clavulanat,
 Fluoroquinolon (levofloksazin,
 gatiflokasin, moksifloksasin)
 Eksaserbasi kompleks
 dengan resiko
 P.aeruginosa
 Seperti diatas, ditambah
 P.aeruginosa
 Fluoroquinolon (levofloksazin,
 gatiflokasin, moksifloksasin), terapi
 iv jika diperlukan:sefalosporin
 generasi 3/4

Terapi antibiotik dimulai dalam 24 jam setelah gejala terlihat untuk mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena dan sumbatan mukus karena adanya proses infeksi. Pemilihan antibiotik empirik harus berdasarkan pada bakteri yang paling umum menginfeksinya. Beberapa bakteri yang biasanya menginfeksi adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Haemophilus parainfluenza, dan Morexella catarrhalis.

8. Imunisasi
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal dan vaksinasi influenza per tahun. Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan antivirus seperti amantadin dan rimantadin.

9. Mukolitik
Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi mungkin memeberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhanmanfaatnya sangat kecil.

10. Terapi Penggunaan AAT
Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor resiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambah dengan terapi penggantian AAT (AAT Replacement Therapy). Belum banyak data pendukung, tetapi sebuah studi menunjukkan bahwa terapi pengganti Aat dapat memperlambat progesivitas penyakit dan mengurangi mortalitas dibanding dengan pasien yang tidak mendapatkan terapi tersebut. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60mg/kg IV sekali seminggu dengan kecepatan 0,08ml/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Contoh produk yang tersedia adalah Proslatin,Aralast, dan Zemaira.

TERAPI PADA KOMPLIKASI

1.      Cor Pulmonale
Hipertensi pulmonar terjadi karena hipoksemia kronik. Cor pulmonale atau hipertrofi ventikrel kanan, merupakan akibat selanjutnya. Terapi yang diberikan dapat berupa:
    1. Terapi Oksigen
Ä karena hipoksemia merupakan stimulan utama dalam meningkatkan
     resistensi vaskuler pulmonary dan hipertensi pulmanale.
    1. Diuretik
Ä harus diperhatikan terjadinya alkalosis metabolik hipokalemia.
    Hipokalemia akan diperparah dengan penggunaan ß-agonis dan
    kortikosteroid.
    1. Digoksin
Ä lebih menguntungkan untuk pasien yang menderita biventrikular failure
     akibat cor pulmonale daripada gagal ventrikel kanan.
    1. Vasodilator
Ä dapat menurunkan afterload ventrikel kanan sehingga dapat digunakan pada pasien yang hipertensi pulmonary atau gagal ventrikel kanan.

2.      Polisitemia
Ä dapat digunakan terapi oksigen.

J. EVALUASI DAN MONITORING TERAPI
                                 
Pada PPOK stabil kronis, perlu dilakukan tes fungsi paru secara periodik untuk mengetahui pengaruh perubahan terapi atau penghentian suatu terpai. Selain itu, juga perlu dipantau skor dispnea, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi, termasuk jumlah masuk RS karena PPOK.
Sedangkan untuk eksaserbasi akut, perlu dilakukan evaluasi terhadap hitung leukosit, tanda vital, rontgen dada, dan perubahan dalam frekuensi dispnea, volume sputum, dan purulensi sputum selama terapi eksaserbasi berlangsung. Pada eksaserbasi yang lebih berat, analisa saturasi oksigen dan gas darah harus dilakukan.

5 komentar:

  1. Alhamdulillah saya sudah sembuh dari PPOK.
    Saya sembuh semenjak konsultasi dan minum obat resep dari pengobatan terpadu ah9779 yang di rekomendasi kan oleh teman saya ...
    Alhamdulillah semenjak rutin kosumsi obat resep beliau yang saya pesan langsung dari beliau nafas saya menjadi lega dan dahak serta mendengkur saya hilang... Jadi buat saudara yang lain kalau belum sembuh coba berobat dengan beliau... Bisa datang langsung atau hanya pesan obat nya saja. Ini no beliau 0822-9423-8289 semoga saudara bisa sembuh juga seperti saya amin...

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar anda
terimakasih telah berkunjung ke blog saya :)
semoga bermanfaat :)