PENGKAJIAN KEKUTAN OTOT
DAN GANGGUAN KOORDINASI
S1 KEPERAWATAN
STIKES AL-IRYAD
AL-ISLAMIYAH CILACAP
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Pengkajian merupakan salah
satu urutan/bagian dari proses keperawatan yang sangat menentukan keberhasilan
asuhan keperawatan yang diberikan. Tanpa pengkajian yang baik, maka rentetan
proses selanjutnya tidak akan akurat, demikian pula pada pasien dengan gangguan
persarafan. Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif
adalah kumpulan data yang berisikan status kesehatan klien, kemampuan klien
untuk mengelola kesehatan dan keperawatannya terhadap dirinya sendiri dan hasil
konsultasi dari medis atau profesi kesehatan lainnya.
Gangguan persarafan dapat berentang dari sederhana sampai yang
kompleks. Beberapa gangguan persarafan menyebabkan gangguan/hambatan pada
aktifitas hidup sehari-hari bahkan berbahaya. Komponen utama pengkajian
persarafan adalah :
1.
Riwayat kesehatan klien secara
komprehensif
2.
Pemeriksaan fisik yang berhubungan
dengan status persarafan
3.
Diagnostik test yang berhubungan
dengan persarafan baik bersifat spesifik maupun bersifat umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGKAJIAN
KEKUATAN OTOT
Pengkajian merupakan tahap awal proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian
merupakan pemikiran dasar dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan individu. Pengkajian yang lengkap, akurat, sesuai kenyataan,
kebenaran data sangat penting untuk merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan
dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan respon individu.
Pengkajian kekuatan otot perlu memperhatikan kemampuan merubah posisi,
kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran otot. Kelemahan otot menunjukkan
polineuropati, gangguan elektrolit (kalsium dan kalium), miastenia grafis,
poliomyelitis, dan distrofi otot. Dengan palpasi otot saat ekstremitas relaks
digerakkan secara pasif akan terasa tonus otot. Mengkaji kekuatan otot
dilakukan dengan palpasi otot dan ekstremitas yang digerakkan secara pasif dan
rasakan tonus otot. Dan dalam melakukan pengkajian kekuatan otot diperlukan
beberapa data yaitu:
1.
Data Subyektif
Data subyektif merupakan data yang diambil berdasarkan
penuturan pasien atau keluarga, seperti: adanya nyeri, kekakuan, kram, sakit
pinggang, kemerahan, pembengkakan, deformitas, ROM, gangguan sensasi. Dalam
pengambilan data subyektif dapat dilakuakan dengan cara PQRST :
a.
Provikatif (penyebab)
c.
Region/radiation (dimana dan
apakah menyebar)
d.
Severity (apakah mengganggu
aktivitas sehari-hari)
e.
Timing (kapan mulainya)
Pengkajian pada sistem muskuloskeletal:
a.
Riwayat sistem muskuloskeletal,
tanyakan juga tentang riwayat kesehatan masa lalu. Mencakup penyakit yang
pernah dialami sebelumnya, penyakit apa yang pernah dialami pada masa
kanak-kanak, pengobatan, periode perinatal, dan tumbuh kembang.
b.
Riwayat dirawat di RS
c.
Riwayat keluarga, diet. Perawat
akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan kekuatan otot dan gangguan
otot.
d.
Aktivitas sehari-hari, jenis
pekerjaan, jenis alas kaki yang digunakan
e.
Permasalahan dapat saja baru
diketahui setelah pasien ganti baju, membuka kran dll.
2.
Data Obyektif
Data Obyektif merupakan data yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap pasien. Adapun pengkajian
fisik sistem muskuloskeletal yang dilakukan, meliputi:
a.
Inspeksi dan palpasi ROM dan
kekuatan otot
Untuk mengetahui integritas tulang, postur, fungsi sendi, kekuatan
otot, cara berjalan dan kemampuan pasien melakukan aktivitas sehari-hari.
b.
Bandingkan dengan sisi lainnya.
c.
Pengukuran kekuatan otot (0-5)
dilakukan secara tradisional artinya mengukur
kekuatan otot dengan menggunakan
skala klasik, antara lain :
Skala 0 : artinya otot tak mampu
bergerak, misalnya jika tapak tangan dan jari mempunyai skala 0 berarti tapak
tangan dan jari tetap saja di tempat walau sudah diperintahkan
untuk bergerak.
Skala 1: jika otot ditekan masih
terasa ada kontraksi atau kekenyalan ini berarti otot masih belum atrofi atau
belum layu.
Skala 2: dapat mengerakkan otot atau bagian yang lemah
sesuai perintah misalnya tapak tangan disuruh telungkup atau lurus bengkok tapi
jika ditahan sedikit saja sudah tak mampu bergerak
Skala 3: dapat menggerakkan otot dengan
tahanan minimal misalnya dapat menggerakkan tapak tangan dan jari
Skala 4: Dapat bergerak dan dapat melawan
hambatan yang ringan.
Skala 5: bebas bergerak dan dapat melawan
tahanan yang setimpal untuk mengerahkan tenaga
memencet jari-jari kita. Kalau lemah akan terasa tangan pasien tak mampu
meremas kuat tangan kita. Kesulitannya adalah kalau pasien cewek yang tak
pernah menggunakan tenaga otot jari tangan, remasannya terasa kurang kuat
walaupun sudah dipaksakan untuk itu dapat diperiksa lebih jauh dengan
hati-hati.
d.
Duduk, berdiri dan berjalan
kecuali ada kontra indikasi
e.
Kemampuan dasar fungsional.
f.
Perkusi dan auskultasi
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya cairan dalam rongga sendi dan
auskultasi dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pada vaskuler dan
krepitasi.
Sistem otot
dikaji dengan memperhatikan kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan
koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar estremitas
harus diukur untuk memantau pertambahan ukuran akibat adanya edema atau
perdarahan kedalam otot, juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi pengurangan
ukuran akibat artrofi.
B.
PENGKAJIAN
GANGGUAN KOORDINASI
Pengkajian
merupakan salah satu urutan/bagian dari proses keperawatan yang sangat
menentukan keberhasilan asuhan keperawatan yang diberikan. Tanpa pengkajian
yang baik, maka rentetan proses selanjutnya tidak akan akurat, demikian pula
pada pasien dengan gangguan koordinasi. Gangguan
koordinasi adalah gangguan keterampilan motorik. Seseorang dengan gangguan ini memiliki kesulitan
dengan hal-hal seperti mengendarai sepeda, memegang pensil, dan melempar bola. Orang dengan gangguan ini sering disebut canggung. gerakan mereka lambat dan canggung.
Orang
dengan gangguan perkembangan koordinasi juga mungkin mengalami kesulitan
menyelesaikan tugas-tugas yang melibatkan gerakan kelompok otot secara
berurutan. Misalnya,
orang tersebut mungkin tidak mampu melakukan hal berikut ini dalam rangka: membuka
pintu lemari, keluar jaket, dan meletakkan di atas.
Beberapa gangguan koordinasi menyebabkan gangguan/hambatan pada aktivitas hidup
sehari-hari bahkan berbahaya. Komponen utama pengkajian koordinasi adalah:
1.
Riwayat kesehatan klien
secara komprehensif
2.
Pemerikasaan fisik yang
berhubungan dengan status koordinasi
3.
Diagnostik test yang
berhubungan dengan koordinasi baik bersifat spesifik maupun bersifat umum.
Gangguan sistem
koordinasi salah satu diantaranya adalah Ataksia. Ataksia merupakan penyakit
menurun yang menyebabkan kerusakan progresif terhadap sistem saraf sehingga
menyebabkan gangguan GAIT (Glucosamine/chondroitin Arthritis Intervention
Trial) dan masalah berbicara sampai penyakit jantung. Ataksia disebabkan
kemunduran jaringan saraf pada urat saraf tulang belakang (spinal cord) dan
saraf yang mengendalikan gerakan otot pada lengan dan kaki. Urat saraf menjadi
tipis dan sel-sel saraf kehilangan serabut myelin.
Pengkajian
pasien Ataksia sebagai berikut:
1.
Data
Subjektif
a.
Biodata
Ataksia dominan sering muncul pada umur 20 tahun sampai 30 tahun atau bahkan lebih tua lagi. Kadang individu dapat tidak menunjukkan gejala sampai usia 60 tahun.
Ataksia dominan sering muncul pada umur 20 tahun sampai 30 tahun atau bahkan lebih tua lagi. Kadang individu dapat tidak menunjukkan gejala sampai usia 60 tahun.
b.
Riwayat Kesehatan
1)
Keluhan utama
Biasanya
klien mengeluh: tangan dan kaki susah digerakkan, penglihatan tidak jelas,
kemampuan berbicara terganggu.
2)
Riwayat penyakit
sekarang
3)
Riwayat penyakit
keluarga
Ataksia
termasuk penyakit keturunan
4)
Riwayat psikologi
5)
Riwayat psikososial
Pasien
biasanya menutup diri dari lingkungan sekitar karena penyakitnya, keterbatasan
aktivitas.
2.
Data
objektif
Pemeriksaan
yang dilakukan menggunakan:
a.
Elektromiogram (EMG),
yang mengukur aktivitas elektrik sel-sel otot.
b.
Studi pengantaran
saraf, yang mengukur kecepatan saraf meneruskan rangsangan.
c.
Elektrokardiogram
(EKG), yang memberikan hasil grafik aktivitas elektrik atau pola denyut jantung.
d.
Ekokardiogram, yang
merekam posisi dan gerakan otot jantung.
e.
Magnetic Resonance
Imaging (MRI) atau scan computed tomography (CT) scan, yang menyediakan gambar
otak dan urat saraf tulang belakang.
f.
Ketukan tulang belakang
(spinal tap) untuk mengevaluasi cairan serebrospinal.
g.
Tes darah dan urin
untuk mengetahui naiknya kadar glukosa.
h.
Tes genetik untuk
mengidentifikasi gen yang dipengaruhi.
BAB III
PENUTUP
Pengkajian merupakan tahap awal
proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan
data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan klien. Pengkajian kekuatan otot perlu memperhatikan kemampuan merubah
posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran otot. Lingkar
estremitas harus diukur untuk memantau pertambahan ukuran akibat adanya edema
atau perdarahan kedalam otot, juga dapat dipergunakan untuk mendeteksi
pengurangan ukuran akibat artrofi.
Beberapa
gangguan koordinasi menyebabkan gangguan/hambatan pada aktivitas hidup
sehari-hari bahkan berbahaya. Komponen utama pengkajian koordinasi adalah:
1.
Riwayat kesehatan klien
secara komprehensif
2.
Pemerikasaan fisik yang
berhubungan dengan status koordinasi
3.
Diagnostik test yang
berhubungan dengan koordinasi baik bersifat spesifik maupun bersifat umum.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J, Grebb,
Jack A. (2002). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan psiatri klinis.
Jakarta : Binarupa Aksara.
Alimul, Aziz. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda
terimakasih telah berkunjung ke blog saya :)
semoga bermanfaat :)